PULAU KEMARO - Kisah Cinta Sejati Antara Tan Bun An Dan Siti Fatimah
Legenda dari tanah Sumatera Selatan, Palembang.
Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil yang membentang diatas Sungai Musi. Sungai yang memisahkan antara seberang ulu dan seberang ilir kota Palembang.
Dalam Bahasa Indonesia, Pulau Kemaro artinya sama dengan Pulau Kemarau. Dikatakan demikian karena pulau ini tidak pernah dibanjiri oleh air walaupun pada saat sungai musi mengalami pasang naik.
Pulau Kemaro ini selalu ramai dikunjungi oleh warga khususnya warga Tiong Hoa. Apalagi ketika Cap Go Meh tiba.
Diatas pulau ini ada sebuah Pagoda China. Dan yang paling terkenal adalah "POHON CINTA". Konon menurut penduduk asli setempat, bila dua orang pasang kekasih mengukir namanya di Pohon Cinta tersebut maka cinta mereka akan abadi.
Ada sepenggal kisah cinta yang romantis dibalik terbentuknya Pulau Kemaro ini. Mari kita simak ceritanya.
Dahulu kala ada seorang putri raja Palembang yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Wajahnya sangat menawan. Sehingga banyak pemuda-pemuda kaya yang datang berbondong-bondong untuk mempersuntingnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berhasil, karena sang raja hanya menginginkan menantu yang berasal dari keturunan bangsawan dan yang sederajat dengannya.
Bersamaan pada waktu itu ada seorang pemuda dari negeri China bernama Tan Bun An bersama awak kapalnya berlabuh di negeri melayu tersebut dengan maksud untuk berdagang.
Tan Bun An rupanya bukanlah seorang pelayar biasa. Dia adalah putra mahkota dari raja China yang bermaksud untuk membuat hubungan dagang dengan kerajaan Palembang. Lalu dia menemui raja Palembang untuk menyampaikan maksud dari kedatangannya tersebut.
Raja Palembang menyambut kedatangan Tan Bun An dengan baik dan ramah. Sejak itu, setiap hasil yang didapat oleh Tan Bun An dari perdagangannya dibagikan kepada raja Palembang sesuai dengan perjanjian.
Hingga pada suatu waktu, Tan Bun An bertemu dengan Siti Fatimah. Tan Bun An sangat terpesona melihat kecantikan Siti Fatimah. Siti Fatimah pun tertarik dengan sosok pemuda yang gagah dan penuh sopan-santun tersebut. Akhirnya mereka pun saling jatuh cinta.
Tan Bun An tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Lalu dia membulatkan hatinya untuk melamar Siti Fatimah. Alangkah senangnya sang raja mendengar berita yang disampaikan oleh sang putra mahkota raja China tersebut. Karena Tan Bun An sangat memenuhi kriteria yang diinginkannya.
Namun sang raja meminta sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh Tan Bun An, yaitu sembilan buah guci yang berisi emas sebagai mas kawin untuk putrinya. Tan Bun An pun menyanggupi persyaratan sang raja tersebut. Lalu ia menyuruh para pengawal dan awak kapalnya untuk menyampaikan berita ini kepada orang tuanya yang tidak lain adalah penguasa negeri china pada saat itu.
Awak bersama kapalnya pun kembali ke negeri China untuk menyampaikan surat dari Tan Bun An kepada raja mereka. Sementara pernikahan Tan Bun An dan Siti Fatimah dilangsungkan secara besar-besaran di Palembang.
Setelah enam bulan purnama, para awak kapal dan pengawal Tan Bun An kembali dari negeri China bersama sebuah surat dari orang tuanya dan sembilan buah guci berisi emas yang dipinta oleh raja Palembang. Namun guci-guci tersebut sengaja ditutupi oleh sayur-sayuran agar agar terhindar dari perompak laut.
Mendengar berita ini, Tan Bun An bersama Siti Fatimah dan dayang-dayang bergegas menemui awak kapal dan pengawalnya tersebut dibantaran sungai Musi Palembang.
Dalam surat yang disampaikan oleh orang tuanya itu, mereka meminta maaf kepada Tan Bun An putranya karena tidak dapat berkunjung ke Palembang untuk melihat menantu mereka yang cantik jelita tersebut. Sedangkan sesuai dengan permintaan raja Palembang, mereka sudah menyiapkan sembilan buah guci berisi emas tersebut diatas kapal.
Alangkah senangnya Tan Bun An setelah membaca surat dari orang tuanya itu. Dengan semangat, kemudian ia pun naik ke atas kapal bersama Siti Fatimah untuk memeriksa ke sembilan guci tersebut.
Namun alangkah terkejutnya Tan Bun An saat mendapati isi dari guci pertama hanyalah berupa sayur-sayuran. Belum lagi sayur-sayuran tersebut sudah membusuk dan melepaskan aroma yang tidak sedap.
Dalam hatinya berkata, bagaimana dia bisa menemui mertuanya raja Palembang itu kalau ternyata yang ia bawa adalah guci berisi sayur-sayuran yang sudah membusuk. Pastinya dia akan sangat malu sekali.
Tan Bun An pun marah dan melemparkan guci tersebut keatas sungai musi. Begitu juga dengan guci-guci kedua, ketiga, ke-empat dan seterusnya. Hingga guci yang ke-sembilan, saat Tan Bun An ingin melemparkannya keatas sungai musi tiba-tiba ia tersandung sesuatu dan jatuhlah guci tersebut hingga pecah diatas kapal.
Tan Bun An pun marah dan melemparkan guci tersebut keatas sungai musi. Begitu juga dengan guci-guci kedua, ketiga, ke-empat dan seterusnya. Hingga guci yang ke-sembilan, saat Tan Bun An ingin melemparkannya keatas sungai musi tiba-tiba ia tersandung sesuatu dan jatuhlah guci tersebut hingga pecah diatas kapal.
Betapa terkejutnya Tan Bun An, saat ia melihat ada batangan-batangan emas berhamburan dari dalam guci itu. Ia pun menyesal. Lalu menyeburkan diri kedalam sungai Musi dengan maksud mengambil emas-emas itu.
Siti Fatimah yang cemas dengan keadaan Tan Bun An yang tak kunjung timbul ke permukaan sungai ikut menceburkan diri kedalam sungai Musi. Sebelum itu ia mengatakan sesuatu kepada para dayangnya. Jika ada seonggok tanah muncul diatas permukaan sungai Musi ini, maka berarti itu adalah makamnya.
Para dayang, awak kapal, dan pengawal Tan Bun An yang setia kemudian ikut menenggelamkan diri kedalam sungai Musi bersama kapalnya.
Setelah beberapa bulan dari peristiwa itu Tan Bun An, Siti Fatimah, beserta dayang-dayang dan para pengawal Tan Bun An tak kunjung ditemukan lagi. Mereka hilang dikedalaman sungai Musi bagaikan ditelan bumi.
Lalu muncul sedikit demi sedikit seonggok tanah diatas permukaan sungai Musi seperti yang dikatakan oleh Siti Fatimah sebelum ajalnya. Hingga sekarang seonggok tanah yang sedikit demi sedikit itu membentuk sebuah pulau kecil ditengah-tengah sungai Musi yang dinamakan Pulau Kemaro. Pulau yang selalu tampak seperti mengalami musim kemarau yang tak pernah usai. Walaupun keadaan sungai Musi sedang pasang naik.
Begitulah sepenggal cerita romantis dibalik asal muasal dari Pulau Kemaro di Palembang yang menjadi legenda hingga sekarang. Semoga sahabat Beranda Mistery terhibur dengan cerita ini dan berkeinginan untuk mengunjungi Pulau Kemaro ketika singgah di kota Palembang, kota tempat kelahiran saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar