Rabu, 28 Oktober 2015

Cerpen

Tanpa Putih dan Abu Abu


 

Cerpen Karangan: 
Lolos moderasi pada: 28 October 2015
Inilah kisahku, kisah yang berbeda. Ya! Memeng berbeda. Mereka yang hidup di bawah keterangan. Mereka yang hidup di bawah terangnya cahaya matahari, terangnya cahaya rembulan dan kerlap-kerlip bintang-bintang indah di langit. Kehidupan kami berbeda. Mereka yang hidup selembut putih dan seburam abu-abu. Alunan kehidupan yang tak pernah ku rasakan. Kesenangan yang menyelimuti kehidupan mereka. Kesedihan yang melengkapi segalanya.
Karena aku hidup di bawah gelap. Di bawah hitam yang menyiksaku. Hitam yang mengepungku. Hitam yang begitu menakutkan. Aku sendirian, di dalam sepi, di dalam kehidupan yang tak pernah dijumpai. Hitam yang gelap telah menggelapkan hatiku. Membuat hidupku tanpa pelangi, tanpa hujan, tanpa apapun. Putih yang tak pernah tampak, abu-abu yang tak pernah ku rasakan. Semua aneh, semua gila.
Aku ingin ke luar. Aku ingin menghirup udara bebas. Aku ingin bebas seperti burung. Aku ingin lepas seprti ular. Ku raba seluruhnya. Ku raih sebuah benda. Benda yang tak tampak wujudnya. Ku hempaskan benda itu entah kemana yang berbalik lagi ke arahku. Kuraih lagi sebuah benda. Ku hempaskan lagi dengan amat kencang menembus dinding waktu. Segumpal cahaya yang begitu putih dan bersinar. Menyilaukan mataku.
“aku bebas, aku bebas!!”
Kini putih telah melekat pada tubuhku. Kugapai putih. Kudengar alunan merdu. Kuikuti alunan merdu itu entah sampai kemana? Aku tak tahu!. Aku telah bebas, Aku berada di dunia luar., dunia yang sangat kurindukan. Tapi aku harus apa? Mereka memendangiku. Memandangku dengan sangat tajam. Apa ini? Ku lalui lagi jalan. Kulihat mereka sedang berkelahi, mereka saling memukiul. Apa ini? Kenapa mereka begini? Darah bercucuran ditubuh mereka masing-masing. Aku tak sanggup melihatnya . Aku berbalik.
Ku jumpai wanita yang memakai baju yang sangat ketat dan memperlihatkan bagian tubuhnya. Mereka berdiri di jalan entah apa yang mereka tunggu. Lalu sebagian dari mereka tengah berciuman di tempat terbuka ini. Aku berbalik arah entah ke mana lagi. Ku jumpai mereka sedang duduk di atas sebuah benda, sambil meminum entah apa. Ku dekati mereka, tapi aku berbalik lagi. Mereka mengejarku dan memegang kedua tanganku. Apa yang ingin mereka lakukan padaku? Aku takut. Aku cemas. Aku berteriak. Mereka menarikku dan menggodaku. Oh Tuhan, bagaimana ini?
“tolong.. tolong.. aaaa!!!” aku semakin takut.
Lalu muncul sesosok pria. Ia lalu menghajar mereka. Satu per satu mereka jatuh di hadapanku dengan sekujur tubuh yang penuh dengan darah. Mengapa mereka selalu menumpahkan darah? Aku yang tak mengerti apapun tentang semua kejadian ini, terduduk dengan kedua kaki ku lipat di depanku, Ku peluk kakiku dan menangis, menjerit histeris. Pria itu menghampiriku.
“mengapa? Mengapa mereka saling menyakiti?” tanyaku histeris.
“itu kebiasaan mereka, yang tak lagi mempedulikan sesamanya.”
“tapi aku tak bisa melihat darah, aku tak sanggup.” aku semakin histeris. “tolong ak! Aku takut..”
Ia mendekatiku. “apa kau tidak pernah melihat ini?”
“selama ini aku hidup dalam gelap. Ini bukan kehidupanku, karena ku hidup di sebuah ruang gelap. Aku hidup dalam kesendirian. Kehidupan kita berbeda.”
“kalau begitu, ikutlah denganku, akan ku tunjukkan sisi lain dari kehidupan di sini, aku San, dan kau?”
“aku tidak tahu, tapi mereka selalu memanggilku Rain..”
“maukah kau ikut denganku?”
“Inikah yang aku inginkan? Dia sangat baik,” batinku. Aku mengangguk tanda setuju.
Kami berjalan menelusuri jalan. Dengan tangan bergandengan. Menikmati udara segar yang tak pernah ku rasakan. Melihat keindahan yang menakjubkan. Inikah putih, kebahagian yang ku rasakan sekarang. Tapi.. Ku buka mataku perlahan. Dia.. dia.. San. Tubuhnya terlentang di hadapanku. Sekujur tubuhnya dipenuhi darah. Apa yang telah terjadi? Ingin ku mengapainya tapi aku lemah. Mereka… orang-orang itu, Aku mengenalnya. Tapi… Ku buka mataku semua gelap. Apa yang terjadi?
“San.. San..” teriakku.
Aku semakin cemas. Tubuhku berkeringat. Air mataku bercucuran lagi. Aku berlari kesana-kemari. Tapi semua hanya dinding yang tak dapat ku tembus. Aku semakin histeris. Tuhan kenapa? Kenapa aku kembali ke tempat ini? Tempat yang mengurungku dengan dunia luar. “Aku ingin bebas. Aku ingin bersama San,” batinku. Tapi apa daya, Aku hanya bisa seperti dulu, duduk menanti. Dunia yang tak pernah ku rasakan. Menunggu saat tiba aku akan terbebas dan menghirup udara bebas di dunia yang berbeda bersamanya menyambut putih dan abu-abu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar